Gundah Gulana Susun RAPBN 2020 di Tengah Guncangan Global
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah mendadak bimbang dengan asumsi makro yang disematkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. Keraguan atas asumsi yang diusulkan muncul tak lama sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato rancangan Nota Keuangan 2020 di hadapan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 16 Agustus 2019 lalu.Dalam RAPBN 2020, pemerintah telah mengusulkan sejumlah asumsi makro, di antaranya target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen, inflasi 3,1 persen, nilai tukar rupiah Rp14.400 per dolar Amerika Serikat (AS), dan suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,4 persen.
Kemudian, harga minyak mentah Indonesia (ICP) diperkirakan sekitar US$65 dolar, target produksi siap jual (lifting) minyak mentah 734 ribu barel per hari (bph), dan gas bumi 1,19 juta barel setara minyak per hari (bph).
Namun, dalam pembahasan dengan Badan Anggaran DPR pada Rabu (28/8) kemarin, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pesimistis asumsi kurs rupiah dan ICP akan sesuai dengan kenyataan di masa mendatang. Pasalnya, kedua faktor itu sangat rentan akan gejolak perekonomian dunia yang masih penuh ketidakpastian.
Di hari yang sama, dalam rapat Kementerian ESDM dengan Komisi VII, juga terungkap asumsi lifting minyak dalam RAPBN 2020 9,2 persen di atas realisasinya saat ini yang rata-rata hanya 672 ribu bph.Sementara itu, tren lifting minyak di Indonesia telah berada pada fase penurunan sekitar 3 hingga 4 persen per tahun sejak 2017 lalu. Artinya, perlu kerja keras agar realita di lapangan nantinya bisa sesuai dengan asumsi yang dipasang.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi berpendapat, Kementerian Keuangan selaku bendahara negara sudah berusaha menyusun asumsi dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang ada. Namun, faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi tersebut dalam perjalanannya bisa saja berubah.
"Misalnya, kalau kita bicara ada kemungkinan resesi global. Lalu, kemungkinan perang dagang AS-China yang melebar dan lain-lain," ujar Fithra kepada CNNIndonesia.com, Rabu (28/8).
Dari sisi internal, asumsi juga dipengaruhi berbagai hal. Contohnya, untuk nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi tak lepas dari kondisi defisit transaksi berjalan (CAD) yang memotret kegiatan perdagangan internasional barang dan jasa.
Jika CAD melebar hingga 3 persen PDB, menurut Fithra, ekonomi hanya mampu tumbuh 4,8 hingga 4,9 persen dan kurs rupiah bisa menembus Rp15.000 per dolar AS.Agar bisa menjaga CAD, sambung Fithra, Indonesia harus meningkatkan produktivitasnya di berbagai sektor. Hal ini tidak hanya bergantung dari kinerja Kemenkeu tapi berbagai kementerian sektoral.
Kementerian sektoral itu di antaranya Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Ketenagakerjaan.Saat ini, menteri-menteri yang menduduki jabatan di pos sektor didominasi oleh perwakilan partai politik.
"Kalau bicara partai politik, Presiden agak sungkan untuk mengendalikan, berbeda apabila dari kalangan profesional yang bisa dikomando langsung," ujarnya.
Sejatinya, asumsi makro yang mencerminkan optimisme merupakan hal yang wajar. Kendati demikian, asumsi makro akan berpengaruh terhadap perhitungan target penerimaan dan belanja negara.
Fithra menilai perhitungan asumsi makro pemerintah sudah cukup realistis. Namun, dengan asumsi makro yang diusulkan saat ini, Fithra melihat target penerimaan perpajakan sebesar Rp1.861,8 atau tumbuh 13,3 persen secara tahunan terlalu tinggi sehingga perlu dilakukan moderasi."Kalau misalnya, target pajak meleset, dan menurut saya akan meleset, itu akan mempengaruhi yang lain seperti defisit karena belanja tidak mungkin dikurangi. Ujung-ujungnya menambah utang," ujarnya.
Jika target-target tersebut meleset, kredibilitas pemerintah dalam menyusun anggaran menjadi taruhannya.
Fithra berharap pemerintah mau membenahi sejumlah hal dalam pembahasan RAPBN 2020 ke depan. Salah satunya, pemerintah harus menentukan arah penyusunan anggaran yang jelas.
Dalam hal ini, Fithra menyorot pernyataan Presiden terkait arah kebijakan fiskal ekspansif. Di sisi lain, usulan target defisit malah lebih rendah yaitu dari 1,84 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) menjadi 1,76 persen terhadap PDB.
Sebagai catatan, defisit anggaran merupakan kondisi di mana pengeluaran untuk belanja lebih besar daripada penerimaan.Secara terpisah, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus mengungkapkan asumsi makro APBN bisa menjadi perbandingan bagi pelaku usaha dan investor dalam melihat kondisi ekonomi setahun ke depan.
"Pelaku usaha, salah satunya melihat asumsi APBN sebagai ukuran. Kalau misalnya asumsi tidak bisa dipegang maka dunia usaha mau mengacu ke mana lagi," ucapnya.
Idealnya asumsi makro dapat disusun secara presisi. Dalam artian, pemerintah sudah memperhitungkan kejadian ekonomi baik di internal maupun internasional yang dapat mempengaruhi indikator makro ekonomi.
Meski kondisi global sulit ditebak, pemerintah tak bisa berdiam diri membiarkan asumsi makro meleset terlalu jauh dari realitasnya. Hal itu bisa dilakukan melalui kebijakan dan program yang sesuai sehingga bisa menjadi bantalan apabila terjadi gejolak di perekonomian global."Kalau memasang target ekonomi 5,3 persen, apa upaya-upaya pemerintah untuk mencapai itu?," ujarnya.
Melihat usulan asumsi yang diajukan pemerintah saat ini, Ahmad tak akan kaget jika pemerintah mengajukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) tahun depan.
Selain untuk menyesuaikan target, sambung ia, perubahan APBNP dilakukan untuk mengakomodasi perubahan nomenklatur kementerian maupun anggaran pemindahan ibu kota negara.
[Gambas:Video CNN] (lav)
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Gundah Gulana Susun RAPBN 2020 di Tengah Guncangan Global"
Post a Comment