Ciputra, Krisis 98, Tangis Pilu di Meja Makan dan Kamar Mandi
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengusaha properti, Ciputra, meninggal di Singapura, Rabu (27/11). Pendiri Ciputra Group tersebut meninggal dalam usia 88 tahun.Semasa hidupnya, Ciputra dikenal sebagai salah satu raja gurita bisnis properti di Indonesia lewat Ciputra Group. Melalui tangan dinginnya, ia berhasil melahirkan bisnis properti Ciputra Group, pada 1981 silam.
Grup itu didirikannya tak lama setelah meniti karir di Jaya Group, perusahaan daerah milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan Metropolitan Group. Perusahaan tersebut merupakan pengembang perumahan mewah Pondok Indah dan Kota Mandiri Bumi Serpong Damai.
Ciputra Group memiliki induk perusahaan bernama PT Ciputra Development Tbk. Perusahaan itu mulai dikenal publik karena membangun perumahan Citra Garden City di Jakarta Barat. Citra Garden City merupakan salah satu kompleks perumahan modern kala itu. Proyek itu dilengkapi dengan segudang fasilitas, seperti olahraga hingga kesehatan dalam satu kawasan.
Gurita bisnis tersebut berhasil membawanya menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Forbes mencatat total kekayaan Ciputra mencapai US$1,1 miliar atau setara Rp18,2 triliun.
Harta tersebut membawanya menjadi orang terkaya nomor 27 di Indonesia. Namun, siapa sangka di tengah kesuksesan tersebut, Ciputra pernah mengalami perjalanan berat dalam menjalankan bisnisnya.
Perjalanan berat tersebut terjadi saat krisis moneter melanda ekonomi Indonesia pada 1997-1998 lalu. Kepada CNNIndonesia.com pada pertengahan 2018 lalu, Ciputra bercerita bisnis yang ia bangun dengan susah payah, seketika dihadapkan pada ujian ketika krisis moneter melanda Indonesia.
Ia menggambarkan fase krisis tersebut menjadi pukulan terberat yang dipikul selama meniti karier sebagai pengusaha. Pria yang memiliki nama asli Tjie Tjin Hoan tersebut mengaku sebenarnya sudah merasakan firasat bahwa Indonesia akan mengalami krisis ekonomi besar.Firasat ia dapat setelah krisis finansial melanda Thailand pada pertengahan 1997. Namun, kala itu Ciputra belum terlalu khawatir.
Maklum, proyek yang dikerjakan perusahaannya kala itu cukup disambut hangat oleh pasar. Dalam buku berjudul 'Ciputra: The Entrepreneur-The Passion of My Life' terungkap dirinya percaya diri karena tak mungkin terpuruk dengan hadirnya bisnis perbankan yang dimilikinya.
"Kami tidak mungkin tidak bisa membayar utang. Kala itu kami juga sudah memiliki bisnis perbankan, Bank Jaya, Bank Ciputra, dan perusahaan asuransi bernama Ciputra Allstate. Tiga perusahaan yang kami yakini akan berkembang baik," imbuh Ciputra.
Namun, kepercayaan diri tersebut berubah saat rupiah terperosok dari Rp2.000 menjadi Rp17 ribu per dolar AS. Penurunan nilai tukar rupiah mulai mengganggu bisnisnya.Kondisi itu membuat Ciputra cemas. Pasalnya, sebagian utang perusahaan dalam bentuk dolar AS. Tak tanggung-tanggung utang tersebut mencapai US$100 juta.
Pelemahan nilai tukar rupiah otomatis membuat nominal utang perusahaan naik jadi hampir lima kali lipat. Malang tak dapat ditolak, di tengah peningkatan nominal utang tersebut, semua pendapatan lini bisnis Ciputra dihasilkan dalam bentuk rupiah.
Alhasil, pendapatan tersebut tak mampu menutupi pembengkakan utang perusahaan. Hal paling menyedihkan, lanjut dia, dua bank dan satu perusahaan asuransi yang dimilikinya harus ditutup pemerintah.
[Gambas:Video CNN]
Utang grup bisnis yang tadinya bisa dibayar sekitar Rp245 miliar tiba-tiba melambung jadi Rp1 triliun. Situasi semakin buruk ketika terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia, disertai penurunan daya beli masyarakat.
PHK dan penurunan daya beli membuat pasar properti yang semula jadi andalan bisnisnya menjadi tidak kondusif. Masalah tersebut mengakibatkan nilai pemasaran penjualan (sales marketing) perusahaan merosot drastis.
Keterpurukan Ciputra tak berhenti, manajemen tak bisa lagi membendung kemarahan pemasok material, mandor, dan seluruh pihak yang menuntut pembayaran bahan baku properti sesegera mungkin. Seluruh lini usaha propertinya hanya tinggal menghitung hari menuju kebangkrutan.
Tak berselang lama, ia memanggil jajaran direksi Ciputra Group untuk mengumumkan kondisi perusahaan yang tengah sekarat. Ia mengaku tak akan menghalangi langkah direksi jika ingin mangkat dari perusahaan.
Namun, hatinya sedikit semringah saat mengetahui sebagian besar direksi tak meninggalkan bisnis yang dibangun selama berpuluh-puluh tahun itu. Hanya ada segelintir orang saja yang keluar, itu pun lantaran kesadaran tidak ingin membebani perusahaan lebih jauh lagi."Saya, Ciputra, di tahun 1998, menangis bersama detik yang berjalan. Di kamar tidur, di meja makan, bahkan pada saat mandi dengan air shower yang menyiram tubuh, air mata saya pun berlinangan. Kami jelas akan kehilangan banyak hal. Tapi yang pasti, kami tidak akan mengubur diri," katanya.
Ia sadar, tak ada waktu untuk membenamkan diri dalam nestapa. Segera, ia langsung meluncurkan aksi penyelamatan.
"Ujian ini sempat membuat saya goyah dan jatuh. Namun, saya tidak patah semangat dan bekerja lebih keras. Syukur kepada Tuhan, saya mampu melewati segala ujian dan tantangan tersebut," tuturnya.
Saat krisis 1998 terjadi, ada satu peristiwa menarik yang merekat dalam ingatannya hingga saat ini. Dia bercerita, aset perusahaan berupa lahan menjadi terbengkalai karena proyek tidak berjalan baik"Saya juga masih fokus untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi persoalan bisnis. Beberapa karyawan saat itu berinisiatif agar bagaimana bisa tetap produktif," ungkapnya.
Para karyawan kemudian bercocok tanam di lahan-lahan kosong. Banyak tanaman produktif yang dihasilkan, antara lain sayur-mayur, jagung, ubi, ketela, buah-buahan, dan lain-lain. Meskipun hasilnya tidak sebesar ketika menjual produk properti, namun uang hasil bercocok tanam itu digunakan untuk membantu biaya operasional perusahaan.
Dalam situasi yang sulit dan penuh tantangan tersebut, Ciputra, keluarga, dan karyawannya berpikir keras untuk bangkit dari keterpurukan. Di sisi lain, pihaknya juga dituntut untuk mampu menjaga level kepercayaan terhadap semua aspek bisnis, mulai dari konsumen, bank, maupun pemerintah.
"Saya berusaha membuat pikiran tetap fokus mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Saya tekankan waktu itu mengenai prinsip 'Janji adalah utang, dan utang harus dilunasi'," tegas dia.Maka itu, negosiasi terus dilakukan terhadap para kreditur hingga akhirnya membuahkan hasil, dan semua utang direstrukturisasi.
"Kami bolak-balik Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan melakukan pertemuan dengan pejabat-pejabat terkait agar persoalan yang membelit kami bisa dihilangkan," kata Ciputra.
Usaha para direksi akhirnya berbuah hasil. Ciputra juga mengapresiasi kepiawaian direksi Metropolitan Group dalam membayar utang dengan kavling tanah. Meski kehilangan banyak, setidaknya Ciputra tak kehilangan reputasi.
Saat itu, Ciputra harus melepas kepemilikan saham di beberapa proyek strategis, seperti Bumi Serpong Damai dan Pantai Indah Kapuk.
"Bagi kami, lebih baik kehilangan proyek daripada kehilangan kepercayaan dari bank, nasabah, masyarakat, serta karyawan," imbuhnya.
(agt)Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ciputra, Krisis 98, Tangis Pilu di Meja Makan dan Kamar Mandi"
Post a Comment